• FYI

    Kumala Eka, Sebuah Awal Cerita

    Saat yang dinanti-nantikan akhirnya tiba juga. Setelah mengikuti seremoni pelepasan di kampus Fakultas Peternakan, Unpad tercinta, pengecekan berulang di BBandung dan Jakarta, sampailah kami di sini. Ya, di Pelabuhan Sunda Kelapa ini. Angin laut hangat menyapa kami dan suasana pelabuhan yang khas tersaji di hadapan. Lokasi inilah sebenarnya lebih tepat dianggap sebagai titik awal petualangan kami, dua belas  mahasiswa penuh semangat yang haus tantangan.

    Pelabuhan Sunda Kelapa konon memiliki sejarah panjang, sudah ada sejak jaman 'baheula', sekitar abad 5 M, dan dianggap sebagai cikal bakal wilayah yang sekarang bernama Ibukota Jakarta. Pada masanya, pelabuhan ini menjadi titik yang sangat penting. Tempat ini menjadi saksi sejarah atas umat manusia dari jaman ke jaman yang menjadikannya sebagai tempat mulai berlayar menyeberangi lautan atau sebaliknya, baru tiba merapat ke daratan. Kisah sejarah pun silih berganti. Kami, Tim Ekspedisi Pemanjatan Tebing Gunung Daya dari UKL Fapet Unpad, mulai mencatatkan juga langkah-langkah sejarah kami sendiri, di sini.

    ***

    Kami tidak memakai alat transportasi yang umum untuk ekspedisi ini. Kapal motor yang kami jumpai bernama "Kumala Eka". Sosoknya sempat membuat sedikit tertegun. Saya tadinya mengira kapal itu sebagai sebuah kapal besar. Sebuah kapal pesiar, atau minimal kapal feri penyeberangan, seperti yang bisa ditemui di jalur Ketapang-Gilimanuk.

    "Kumala Eka" ternyata hanyalah sebuah kapal kecil untuk kelas penyeberangan menuju pulau Kalimantan. Isinya para penumpang, awak kapal dan terutama dijejali segala macam barang yang akan diseberangkan. Karena di dalam kapal terasa penuh, kami pun naik ke atas dek, entah siapa yang mulai memutuskan. Maka, saat perjalanan laut dimulai, di atas dek itulah akhirnya kami semua bisa beristirahat. Bukan rehat yang nyaman ala kapal pesiar, melainkan tidur di atas dek sambil diterpa angin laut yang panas. Perjalanan terasa betul-betul menguras ketahanan fisik dan mental karena jenuh.

    Ketika jam makan tiba, saya dan Kang Aza turun kembali ke tempat para penumpang. Banyak barang, terutama bawang merah, di tempat tersebut. Menu yang disediakan oleh kapal adalah nasi berenang dan tempe goreng. Penyajiannya pun amat mantap, menu di atas piring plastik didorong setengah dilempar, persis seperti adegan film jaman dulu tentang suasana makan di dalam penjara.

    Saya beruntung karena ada Kang Aza, anggota tim yang 'anak kesayangan Mamah'. Ibunya baik hati membekali dengan surundeng, makanan khas Sunda yang sungguh mantap rasanya. Sepanjang perjalanan, saya makan dendengnya, sementara 'suru'-nya dibagikan Kang Aza ke teman-teman anggota tim yang lain. Haha.

    ***

    Bagian yang ini tak terlupakan. Satu persatu kami mabuk laut dan muntah-muntah secara sembunyi-sembunyi. Entah, di mana saja mereka membuang muntahnya (maklum, jaga gengsi, terutama para daplu).

    Menjelang subuh, tiba-tiba muncul kabar bahwa kapal karam di sekitar Laut Karimata. Terkaget-kaget, saya dan Kang Jonni bergegas turun ke Ruang Nahkoda. Ternyata, yang tampak malah nahkodanya sedang minum-minum. Jadi, berita tentang kapal karam tersebut tak diketahui persis benar tidaknya.

    Menjelang subuh, pagi itu, kami sampai di pelabuhan Pontianak. Kami dijemput dan segera menuju rumah Kang Hilman Alamsyah. Kami berhutang budi atas kebaikan Kang Iim, panggilan akrab beliau, atas penerimaan dan pelayanan yang sangat baik.

    Tapi, belum juga kami cukup beristirahat, kami sudah dibangunkan dan harus bersiap untuk berangkat ke lokasi.(bersambung) 

    (source: Opan, editor: yzk)

    No comments:

    Post a Comment

    Diklatsar

    Inspirasi

    Antara Kita