• FYI

    Kisah Dua Srikandi Indonesia Menapaki Puncak Dunia


    “Keren banget, sih. Bangga banget bawa bendera sendiri pas di puncak (Everest). Pokoknya luar biasa. Kami juga seperti ‘oke, ini puncak dunia, loh’. Tapi kejadiannya terasa terlalu cepat karena enggak sampai 30 menit, kami harus kembali turun,” ujar Fransiska Dimitri alias Deedee kepada kumparan, Rabu (15/8).

    Bersama temannya, Mathilda Dwi Lestari, mereka jadi pendaki cewek asal Indonesia yang berhasil menginjakkan kaki dan mengibarkan bendera Merah Putih di puncak gunung tertinggi di dunia, Kamis (15/5) lalu.

    Enggak cuma itu. Berkat keberhasilannya menapaki ‘atap dunia’, Deedee dan Mathilda dinobatkan sebagai cewek pertama asal Asia Tenggara yang berhasil menyelesaikan misi Seven Summits, misi pendakian tujuh puncak gunung tertinggi di dunia.

    Enggak berniat melakukan misi Seven Summits

    Petualangan Deedee dan Hilda, sapaan Mathilda, dimulai pada 2014 lalu. Saat itu, dua mahasiswi Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, ini melakukan ekspedisi pertama di Gunung Puncak Jaya atau Carstensz Pyramid, Papua.

    Lucunya, mahasiswi yang berada di tahun ketiga kuliahnya itu enggak punya pikiran macam-macam untuk melakukan ekspedisi Seven Summits. Saat itu, misi mereka hanya satu, yakni berhasil menapaki gunung dengan ketinggian sekitar 4.884 mdpl tersebut.

    "Kami waktu itu untuk menjadi tim penggantian tali pemanjatan di Carstensz. Nah, kami coba, kalau di sana lancar akan lanjut Seven Summits," jelas Deedee.


    Enggak disangka, perjalanan mereka ternyata berjalan mulus. Mereka lantas memutuskan untuk melanjutkan ekspedisi dengan menargetkan gunung berikutnya, Gunung Elbrus di Rusia.

    Bukan sembarangan. Sebab, gunung yang terletak di dekat perbatasan Georgia ini disebut-sebut sebagai gunung terbesar di Rusia, yang memiliki ketinggian sekitar 5.642 mdpl.

    Enggak berhenti sampai di situ. Tanpa kembali ke Indonesia, cewek-cewek yang tergabung dalam tim The Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala-Unpar (WISSEMU) ini langsung berangkat ke gunung ketiga yakni Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Afrika.

    “(Gunung) Elbrus dan Kilimanjaro jadi satu rangkaian. Baru setelah itu balik ke Indonesia dan lanjut ke gunung keempat, yaitu Gunung Aconcagua di Argentina pada 2015," jelas Hilda.

    Tujuh gunung, ‘sejuta’ tantangan

    Perjalanan Deedee dan Hilda bukan tanpa kesulitan. Selama ekspedisinya, dua cewek jurusan Hubungan Internasional Unpar ini diadang beragam halangan dan rintangan. Salah satu yang terberat adalah saat mereka harus meninggalkan Dian Indah Carolina, salah satu teman yang ikut pendakian. Alasannya, Dian harus menjalani operasi akibat penipisan pembuluh darah.

    Alhasil, hanya Deedee dan Hilda yang harus berjuang melanjutkan pendakian gunung selanjutnya di misi Seven Summits. Pada 2016 lalu, mereka menuju Gunung Vinson Massif yang memiliki ketinggian 4.897 mdpl di Antartika, dan dilanjutkan dengan mendaki gunung keenam yakni Gunung McKinley/Denali di Alaska, Amerika Utara.


    Bagi Deedee dan Hilda, Gunung Denali dengan ketinggian 6.194 mdpl ini jadi gunung dengan medan paling sulit.

    "Di sana itu medannya glasier. Jadi kalau cuacanya dingin itu ketutup es beku yang membentuk jembatan. Tapi kalau cuaca panas itu mencair dan kalau keinjek bahaya. Itu yang bikin takut," tutur Deedee.

    Berbekal enam gunung sebelumnya yang telah mereka taklukkan, Deedee dan Hilda mengaku semakin percaya diri saat akan mencapai puncak Gunung Everest di ketinggian 8.850 mdpl. Perjalanan menuju Everest itu mereka awali dari Bandara Soekarno-Hatta pada Kamis (29/3) lalu.

    Akan tetapi, perjuangan Deedee dan Hilda di Everest enggak selalu berjalan mulus. Mereka sempat terserang accute mountain sickness seperti mual dan pusing. Hilda juga mengaku sempat takut ketika harus melanjutkan ke ketinggian 7.000 mdpl.

    Dengan ketinggian yang melebihi enam gunung sebelumnya, tantangan bagi Deedee dan Hilda semakin bertambah. Pada ketinggian 6.600 mdpl misalnya, mereka harus melakukan fixed rope, yakni memanjat tebing menggunakan seuntai tali.

    "Enggak cuma itu di sana juga ada medan yang terjal dan hanya muat untuk satu kaki. Sampingnya itu sudah jurang, ditambah dengan batu licin dan cuaca yang semakin dingin. Waktu itu pun gelap jadi kami enggak bisa melihat dengan jelas," cerita Hilda.

    Selain medan yang berbahaya, Hilda menyebut rintangan tersulit di Everest yakni menjaga kondisi fisik dan mental selama 34 hari mereka menuju puncak sampai kembali ke basecamp pertama.

    Walau harus melewati tantangan mematikan, upaya mereka akhirnya terbayar ketika mereka bisa mengibarkan bendera merah putih di puncak Everest pada Kamis (17/5) sekitar pukul 05.00 waktu Nepal.

    “Kami enggak boleh lupa mengibarkan bendera Merah Putih. Bangga banget sudah bisa melewati tantangannya,” timpal Deedee.

    Membanggakan Indonesia lewat hobi


    Dengan prestasi yang telah diraih, Deedee dan Hilda mendapat ucapan dari banyak pihak enggak terkecuali Presiden Jokowi. Jokowi memberikan apresiasinya sejak mereka berhasil mendaki Aconcagua.

    "Pak Jokowi sempat apresiasi kami pas Everest ini. Tapi kami bakal lebih senang kalau bisa bertemu dan ngobrol bareng. Pengen cerita-cerita, kan, dia juga anak mapala dulu," ujar Hilda.

    Lebih lanjut, dengan keberhasilan yang sudah diraih, Deedee dan Hilda berharap bahwa pendakian gunung enggak lagi menjadi suatu hal yang dinilai sebelah mata. Dengan mengubah pandangan ini, mereka ingin jumlah pendaki gunung di Indonesia bisa bertambah.

    "Bentang alam Indonesia kan luas. Tapi pendaki gunungnya itu-itu saja. Semoga naik gunung enggak dilihat sebagai hobi saja, tapi bisa menjadi pilihan karier yang menjanjikan dan bisa membanggakan negara," lanjut Hilda.

    “Kebetulan kami berdua suka naik gunung dan kami berpikir bagaimana cara membuat bangga Indonesia. Salah satunya ya lewat misi Seven Summits ini,” tutup Deedee menegaskan.

    Sumber: Kumparan

    No comments:

    Post a Comment

    Diklatsar

    Inspirasi

    Antara Kita