• FYI

    5 CM (Bukan Sebuah Resensi)


    MEREKONSTRUKSI INGATAN

    Gunung Semeru, adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa, yang menurut Jawatan Topografi ketinggian nya mencapai 3.676 mdpl. Dengan segala ke-elokan dan ke-megahan-nya, seperti menjadi magnet yang menarik hati banyak pendaki untuk mengunjungi. Namun, dengan ketinggian dan kemegahannya itu justru calon pendaki seperti diharuskan untuk melatih diri dan mempersiapkan segalanya dengan lebih. Ya, karena gunung ini terkesan istimewa (tanpa bermaksud merendahkan yang lain), setidaknya inilah yang saya rasakan waktu itu. Butuh pesiapan fisik yang cukup dan berlatih di gunung yang medannya mirip dengan Semeru, juga merinci segala logistik yang dibutuhkan.

    Akhirnya suatu waktu saya berkesempatan untuk mengunjungi Semeru dengan semua pesonanya sampai menggapai puncak Mahameru (Jonggring Saloka). Berjuta rasa saya dapati, mulai dari keramahan warga desa Ranu Pani, suburnya ladang sayur yg terhampar luas, asrinya hutan, syahdunya Ranu Kumbolo, luasnya hamparan savana, eloknya permadani bunga berwana ungu, mencekam-nya hawa dingin Kalimati, berpayah-payahnya dalam pasir Mahameru, cantik dan kesepian-nya Cemoro Tunggal dan klimaksnya adalah tanpa sadar mata meneteskan ainya dalam sujud sukur atas berjuta rasa di titik triangulasi Mahameru. Ah.. Ingatan indah itu akan terekam dalam memori sepanjang usia sepertinya.


    5 CM DARI MAHAMERU

    5 Cm. itulah sebuah judul novel yang menemani sebuah perjalanan saya dari Bandung menuju Jakarta di dalam kendaraan, cerita dan gaya bahasanya sangat menarik. Ya, bagaimana tidak, karena buku ini dinobatkan menjadi buku tercepat yang berhasil untuk saya baca dalam waktu kurang lebih 2 jam tanpa rasa bosan dan mengantuk sedikitpun. tumben!? :-D

    Mahameru dan Novel 5 cm ;memang memiliki satu kesamaan seperti yang diceritakan di atas. Novel karya Donni Dhirgantoro ini pertama kali dicetak pada tahun 2005, mengisahkan tentang sebuah perjalanan 5 orang sahabat yang diantara bagian ceritanya melakukan pendakian ke gunung Semeru. Kemudian novel tersebut diangkat menjadi sebuah film pada akhir tahun 2012 yang mendapat sambutan antusias yang cukup luar biasa, dan Novel ini pun pada saat yang sama kembali menjadi salah satu buku Best Seller setelah sekian cetakan.

    Pada Tahun 2009, saat pertama kali melakukan pendakian ke Gunung Semeru, saya mendapatkan kebahagiaan yang melebihi ekspektasi daripada hasil membaca novel-nya. Bahkan sampai saat ini saya masih bisa merasakan bagaimana waktu pertama melihat langsung sekilas Ranu Kumbolo dari balik pohon Eddelweis setelah melewati beberapa bukit dari Pos Ranu Pani. Anggun, Biru, cantik, tenteram dan luar biasa siang hari saat itu.

    Suasana pada waktu itu bisa dibilang sepi, karena saya masih ingat betul hanya ada 3 kelompok pendaki yang saya jumpai, yaitu dari Banten, Padang dan Malang. Entah karena waktu itu memang bertepatan dengan momen Pemilu Pemilihan Presiden atau karena Semeru belum populer seperti sekarang ini, terutama setelah adanya film 5 cm tersebut. Semua bagian perbagian keindahan di semua sudut Pegunungan Semeru pada saat itu menjadi kenangan yang akan tetap tersimpan manis dalam ingatan. Ya, seperti kata Murakami:

    Ingatan itu seperti bayangan pohon di waktu senja. Semakin sore semakin panjang bayangannya. Seiring berlalunya hari, kita membutuhkan waktu yang semakin lama untuk memanggil ingatan kita.


    KENANGAN YANG MEMUDAR

    Entah apakah memang dipengaruhi dari Film 5 cm atau tidak, kegiatan alam bebas khususnya pendakian gunung menjadi sangat populer dan bahkan benar seperti kata Kang Mamay Salim waktu berbicara pada saat acara Ulang Tahun UKL ke-36 (Hom3six), bahwa pendakian gunung saat ini telah menjadi suatu gaya hidup, terutama di kalangan remaja. Kemudahan mendapatkan informasi dari dunia digital dan eksistensi social media, sangat mendukung bahwasanya kegiatan mendaki gunung pada saat ini menjadi sesuatu yang digandrungi.

    Saya masih ingat, gunung-gunung yang di sekitar Bandung yang biasanya cukup sepi, menjadi sangat ramai terutama pada saat malam minggu. Seperti memanfaatkan kesempatan, desa di kaki gunung akhirnya menjadi giat menarik retribusi kepada setiap pendaki, munculnya pedagang makanan di tempat camp/pos pendakian, komersialiasi ; gunung Papandayan, Tegal Panjang yang sejatinya adalah kawasan konservasi malah semakin ramai menjadi tempat camping favorit. Dulu iuran seperti itu memang sudah ada, tapi masih terhitung sangat ekonomis. Sangat berbeda dengan sekarang, terutama gunung-gunung yang notabene disebut favorit, tiketnya naik berpuluh puluh kali lipat. Namun sedikit berita baiknya adalah retribusi yang cukup menguras kantong ini, mungkin baru terjadi di beberapa gunung favorit pulau jawa, karena di Sumatera ; Gunung Dempo retribusinya hanya sebesar dua ribu rupiah saja (2015), juga Gunung Kerinci yang cukup membayar tujuh rupiah. Bandingkan dengan gunung Argopuro (Jawa timur) terakhir yang saya kunjungi, pendaki harus membayar sembilan puluh ribu rupiah untuk tiga malam.

    Sekarang untuk mendapatkan tempat camp yang nyaman di suatu gunung bisa menjadi sesuatu yang untung-untungan. Contohnya di gunung Manglayang, pernah suatu waktu tempat camp di sepanjang puncak prisma sampai puncak triangulasi dipenuhi tenda, tanpa space sedikitpun. Begitu pula di gunung Rakutak, yang tidak selayaknya mendirikan tenda-pun, malah penuh sesak.

    Begitu pula di gunung Semeru, yang komersialisasi-nya lebih awal (setelah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango), berdasarkan data dari situs resmi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tercatat dalam satu minggu ada 5700-an pendaki yang datang dari berbagai daerah dan luar negeri. Ramai sekali, seperti kunjungan kedua saya pada tahun 2013, suasana dan kenangan kenangan waktu kunjungan pertama seperti memudar dan sangat berbeda. Perbedaan yang sangat mencolok adalah dimana banyak pendaki yang bagi saya tidak membawa persiapan logistik yang safety, keramahan ke sesama pendaki yang luntur (padahal pendaki sangat terkenal dengan saling menyapa walaupun hanya berpapasan di jalur), apatis, menyalakan musik dengan volume tinggi di area camp tanpa peduli orang sekitarnya tergganggu, menggunakan sabun langsung di area danau. Sungguh miris dengan apa yang terjadi sekarang, dimana suasana menyenangkan di gunung harus ter-degradasi oleh hal hal yang demikian.

    Novel dan Film nya bagi saya memberikan kesan yang bertolak belakang. Amat sangat disayangkan, Film 5 cm yang menjadi influence dalam ke-populer-an pendakian gunung malah memberikan dampak yang negatif. Salah satunya adalah dalam film tersebut seperti diajarkan bahwa naik gunung itu tidak perlu persiapan yang matang, padahal mohon untuk diingat bahwa dalam kegiatan di alam bebas, faktor keamanan adalah sesuatu yang mutlak, tanpa bisa ditawar tanpa bisa dikurangi sedikitpun.

    No comments:

    Post a Comment

    Diklatsar

    Inspirasi

    Antara Kita