• FYI

    Dua Sekawan HG dan Misteri Gunung Papandayan


    Di suatu masa, kalau tidak salah di tahun 1996, ada kegiatan UKL (Unit Kenal Lingkungan Fapet Unpad) di Gunung Papandayan. Rombongan besar utama UKL sudah berangkat sejak pagi hari. Karena ada suatu kegiatan yang harus diurus sebelummya, saya dan Emir, dua sekawan 92 dari divisi HG (Hutan Gunung), angkatan IX dan X UKL, baru dapat menyusul berangkat ke Garut via terminal Cicaheum Bandung menjelang waktu Magrib.

    Kami berangkat dari Cicaheum menuju Garut menggunakan Bis "Mios" (mungkin ada yang ingat nama bis beken jaman itu ya?) dan setibanya di terminal Garut, malam itu kami segera berganti elf ke arah Cikajang. Singkat cerita, sampailah kami di pertigaan Cisurupan (belokan menuju kawah Papandayan). Ya, kira-kira jam 10 malam, lah. Suasana sepi, hanya ada beberapa tukang ojek yang menawarkan kami untuk mengantarkan kami langsung ke tepi kawah Gunung Papandayan di atas, dengan sejumlah biaya tertentu (seingat saya sih jarak dari pertigaan Cisurupan ke kawah Papadayan lebih kurang 12 km).

    Entah karena mau ngirit atau memang bermental baja, tawaran ojek kami tolak halus. Dengan menggendong carrier bag besar masing-masing, berangkatlah dua sekawan Adri dan Emir menyusuri jalan setapak menanjak di malam sepi itu. (Dalam pikiran saya sekarang sih, keputusan untuk jalan itu besar kemungkinan disebabkan faktor U alias ngirit. Hehehe.)

    Terus terang, selama perjalanan menyusuri jalan malam itu, yang kebetulan bulan sedang mati, kami hanya berbekal penerangan senter yang harus kami hemat-hemat penggunaan baterainya. Dengan dimulai berdoa bersama, mulai berjalanlah kami. Pinggir jalan beraspal menanjak adalah panduan kami agar tidak tersesat.

    Entah karena adrenalin usia muda atau memang sebenarnya sieun tapi berusaha memberanikan diri, tanpa ada diskusi atau ngobrol, langkah yang kami pakai adalah langkah komando ngebut (langkah cepat dan besar). Percaya atau tidak kawan, jarak 12 km menanjak itu kami selesaikan dalam waktu 1 jam dan tibalah kami diatas di kawasan pintu masuk retribusi yang kosong dan sepi melompong tentunya.

    Yang ingin kami share adalah, selama perjalanan sebenarnya terasa sekali upaya-upaya gangguan dari 'dunia lain' pada kami berdua. Mengapa saya yakin atas adanya upaya dari 'dunia lain' itu? Ya karena saya dapat melihat dari sorot mata Mang Emir 'Maung', seorang tokoh 'Dorbus' terkemuka, yang menunjukan wajah keras dan siaga malam itu.

    Kami sempat beristirahat ambil nafas dan minum di setengah jam pertama di pinggir jalan beraspal yang sepi. Di kejauhan, terdengar sayup suara gangguan dibalik pepohonan. Kami berdua hanya saling menatap dan diam, berusaha acuhkan, serta yang pasti api-api teu ngaruh (walau jujur, saat itu bulu kuduk terasa benar merindingnya).

    Dalam diam kami bangkit, dan memulai lagi perjalanan. Eh, suara dan gangguan itupun tetap ada dan seperti membayangi kami terus. Entah datang ide dari mana, tiba-tiba saja kami berdua mengeluarkan keberanian dengan mulai bergumam dan semakin lama semakin keras, memperdengarkan lagu-lagu dan yel-yel Mabim Fapet. Maka suara merdu kami mengimbangi gangguan suara tak jelas dan misterius tersebut. Ini contoh lagunya:

    1) "Fapet Unpad Jatinangor, itulah aku, kemana ku pergi, ku selalu bangga fapet unpad jatinangor dadadadada.. Fapet Unpad Jatingor..." dst.

    2) "Seginimana? Segini, ari ni... niup balon, ari lon... lontong sahaaa? Lontong bapak!"

    3) "Here we got Fapet... you can touch Fapet, You can love Fapet... Fapet is the best... YEAHHH!" dsb. pokoknya mah.

    Banyak lagu semangat mabim kami nyanyikan dengan keras (seakan-akan kami adalah pelatih lagu-lagu mabim untuk anak baru - dari Tatib angkatan 90) dan malam itu suara nyanyian kami mungkin satu-satunya suara manusia yang terdengar nyaring dari jarak beberapa kilometer ke bawah (keun kagok edan, lah). Semakin lama semakin keras kami bernyanyi dan bersuara.


    Pembaca yang budiman... kerasnya suara kami ternyata diikuti hilangnya gangguan misterius tadi! Entah karena akhirnya 'mereka' yang takut pada kami, atau justru 'mereka' terpukau akan keindahan suara tenor dan bass yang kami miliki. Entahlah... sampai saat ini, saya kadang masih tersenyum sendiri -sembari merinding- jika mengingat kenangan jalan ngebut dari Cisurupan ke kawah Papandayan di malam sepi itu.

    Bertemukah kami dengan dengan rombongan besar UKL di area landai penuh Edelweis, sedikit di bawah puncak dari Papandayan malam itu? Itu mungkin akan saya sharing dalam sesi berikutnya. Yang pasti di area pintu masuk kawasan kawah, sepi...! Tidak ada satu pun manusia di sana. Hanya kami berdua..., Adri..., Emir....

    Uka... Uka..... L

    (Source: Adri P (UKL-HG-X-181) ed: yzk.)

    No comments:

    Post a Comment

    Diklatsar

    Inspirasi

    Antara Kita