• FYI

    Elegi Gunung Salak


    Saat itu adalah suatu pagi -entah hari, tanggal dan bulannya- di tahun 1994. Kami, para anggota muda UKL angkatan X, terdiri dari Saeful ‘Epul’ Bukhori, Iqbal Lesmono, Iin ‘Inong’ Gustiani, Siti ‘Anieck’ Hasanah SW, Ida Gina Gemina dan Dicky ‘Kewoy’ (semua Fapet'93), ditambah Hendra (Fapet’94) sedang bersiap-siap berbaris di halaman Basecamp UKL (saat ini menjadi basecamp-nya mahasiswa Faperta).

    Keberangkatan didampingi oleh akang-akang yang garanteng (pada saat itu), yaitu Kang Edi ‘Emir’, Kang Sutisna, Kang Ari Kece dan Kang Sigit (semuanya dari Fapet’92).

    Upacara pelepasan kegiatan pengambilan nomor UKL untuk angkatan X dan di Divisi HG telah dipersiapkan oleh akang-akang yang baik hati tur karasep (pada masanya), yaitu: Kang Adri'92, Kang Sonny'91 dan Kang Budi'92, serta dihadiri juga oleh anggota UKL lainnya. Dengan doa dan air mata (wkwkwk) mereka melepas kepergian kami menuju Gunung Salak, Sukabumi.

    Aku berangkat dengan bekal ongkos yang pas-pasan (gak tau yang lain mah… hehe). Setelah upacara pelepasan itu, dari Basecamp UKL kami menuju Sukabumi dengan berganti-ganti bis kota dan bis antarkota. Hari menjelang magrib ketika sampailah kami di sebuah desa di sekitar Gunung Salak.

    Saat itu kendaraan yang menuju ke arah kawasan Gunung Salak sudah tidak ada, sehingga terpaksa kami berjalan kaki, sambil mencari masjid untuk beristirahat dan shalat.

    Langkah kami lanjutkan lagi dan tanpa terasa hari mulai malam. Tiba-tiba… muncullah sesuatu yang besar dan ‘menggerung-gerung’ (aih, apa ituh?). Sebuah truk besar milik perusahaan air minum mineral "Aq*a" muncul di hadapan kami, dan dengan perasaan yang sangat bahagia (boleh digambarkan dengan gerak slow motion), kami beramai-ramai berusaha menghentikannya.

    Atas kebaikan Bapak Pengemudi truk, naiklah kami di bak belakang. Sayangnya, truk hanya bisa mengantarkan kami setengah perjalanan saja. Padahal hari sudah sangat malam dan kami memutuskan untuk beristirahat dan shalat. Sebagian dari kami mendirikan bivak darurat dari ponco (jas hujan) dan sebagian lagi tidur beratap langit.

    ---


    Setelah shalat subuh, kami melanjutkan perjalanan. Tak lama, pagi menjelang dan kendaraan penduduk yang menarik hasil kebun mulai beroperasi. Kami akhirnya dapat menyewa sebuah angkot untuk mengantarkan menuju kaki Gunung Salak.

    Akhirnya, sampailah di kaki Gunung Salak di mana terdapat sebuah sungai nan jernih dengan batu-batu besar yang indah. Seperti gerombolan bebek yang ingin mandi (sebagian karena ingin buang air, wkwkwk) kami sejenak menuju sungai untuk mencuci muka dan lain-lain.

    Selanjutnya, kami berkumpul dan berdo'a agar diberi keselamatan saat pendakian.
    Pendakian pun dimulai dengan riang gembira. Tak nampak wajah lelah meski sudah seharian di perjalanan. Awal perjalanan dijalani tanpa ada sesuatu yang aneh, kami senantiasa bercanda agar tetap bersemangat.

    Di setiap lahan yang landai dan lebar, kami sempatkan untuk mengerjakan shalat.
    Hari menjelang sore, ketika jalan yang kami tempuh mulai berair dan berlumpur. Berbagai hewan kecil yang lunak, seperti lintah dan pacet sudah menempel di beberapa bagian tubuh.

    Saat para wanita UKL mulai nampak kelelahan, para lelaki UKL dengan ceria dan gagah memberi semangat. Tak ada saat yang tak memberi kesan. Semuanya menyenangkan. Sampai suatu saat, aku terjatuh karena kaki tersangkut ke akar pohon.

    Karena hari telah gelap, beberapa kawan yang menggunakan senter selama perjalanan menyenteri aku yang jatuh terjerembab. Saat itulah kulihat sebuah benda berkilau dan aku mengambilnya. Ternyata, itu adalah sebilah senjata badik kecil (sebesar jari telunjuk) dan bertuliskan lafaz "laa ilaha illallah". Sebuah hal yg aneh, mungkin pendaki sebelumnya yang menjatuhkan badik itu. Entahlah…


    Perjalanan pun dilanjutkan. Sesaat lagi menuju ke puncak, ternyata baru saja telah terjadi longsor yang parah saat itu. Atas komando senior kami, kami tidak melanjutkan perjalanan karena sikon-nya sangat membahayakan, ditambah lagi saat itu mulai turun gerimis dan terdengar suara halilintar.

    Akhirnya kami terpaksa berbalik arah.
    Hari telah malam, kami memutuskan beristirahat untuk makan dan shalat. Di sela-sela waktu istirahat, Kang Edi mengajarkan pada kami cara memasak mie/nasi tanpa api, yaitu dengan cara mengubur mie/beras yang telah diberi air di dalam tanah dengan kedalaman 1 meter. Setelah 2 jam, panas bumi akan memasakkan mie/beras tadi.

    Sambil mendengarkan penjelasan Kang Edi itulah kami mulai saling membagikan perbekalan. Ceu Ida saat itu membawa minuman yang tak ada duanya. Apa itu? ‘Nata de Coco’...! Mungkin jika meminumnya tidak di puncak gunung dengan keadaan yang sangat lelah, minuman itu tak nampak istimewa, tapi ini lain!

    Ceu Ida mengeluarkan minuman itu dari dalam carrier-nya. Dalam hati aku berfikir, “pantesan Ceu Ida selama perjalanan kelihatan paling kelelahan, rupanya dia membawa beban tambahan….” Ceu Ida membawa 2 kg ‘Nata de Coco’ untuk teman-temannya! (Terima kasih, Ceu… muaacchh!).

    Kami membuka satu bungkus ‘Nata de Coco’ dan ramai-ramai meminumnya. Sebungkus lagi kami simpan untuk perjalanan pulang. Tak tega kalau Ceu Ida membawanya lagi, aku menawarkan diri untuk membawakan sebagian isi carrier-nya.

    Setelah hilang lelah, kami melanjutkan perjalanan menuruni gunung. Sepanjang jalan tak terdengar suara senda gurau lagi. Tiba-tiba, tampak sepasang mata berwarna hijau berkilat-kilat. Kang Edi menyuruh kami, dengan berbisik, untuk menghentikan langkah.

    Terdengar suara menggeram dan langkah hewan malam. Rupanya seekor macan kumbang mengawasi kami. Kami terdiam sejenak. Benerapa saat kemudian terdengar suara Kang Ari ‘menyanyi bebas’. Langkah dan geraman itu pun terdengar menjauh. Dengan lega kami lanjutkan perjalanan.

    Hari semakin larut malam. Di sebuah tempat yang datar kami berhenti sejenak. Terdengar bunyi binatang malam dan juga seperti suara beberapa ekor anak ayam bersahut-sahutan. Saat itulah aku merasa aneh, banyak anak ayam berkeliaran di tengah hutan dan malam sudah larut. (Saat itu aku tiba-tiba berfikir itu adalah suara mahkluk halus sejenis kuntilanak.. hihihi.. entahlah...).


    Perjalanan kami lanjutkan melalui medan yang berlumpur dan berlintah yang sempat kami lewati sebelumnya. Sesampainya di bagian bawah, kami menemukan gubuk di dekat anak sungai di tengah hutan tersebut. Kami memutuskan untuk beristirahat, mengganti  baju yang berlumpur, serta mendirikan bivak. Kami pun tidur di sekitar situ.

    Pagi hari setelah shalat subuh, kami membersihkan peralatan di sungai. Saat itulah kami mendapat pengajaran dari Kang Edi tentang cara mengambil air bersih dari sungai dengan menggunakan ponco. Aku lalu memasak air dan Ceu Inong membuatkan kopi untuk semua. Sedapnyaaa… (makasih, Ceu Inong... muaacchh lagi).

    Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan pulang, dan bertemu dengan sungai yang jernih dan berbatu besar, yang kami sempat lewati sebelumnya. Sebagian dari kami mandi dan lain-lain (aku mah engga, hehehe). Setelah itu kami meninggalkan kaki Gunung Salak dan Kota Sukabumi. Sampailah kami di Bandung menjelang malam.

    Sumber: Aniek SHSW/ Editor: @yoezka

    No comments:

    Post a Comment

    Diklatsar

    Inspirasi

    Antara Kita